FORUM PENGAJIAN QUR'AN HADITS

"Kami hanya ingin menegakkan nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits"
cbox

Sabtu, 13 Juli 2013

Sejarah (ringkas) Pergerakan Salafi Modern di Indonesia

Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di
  • Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah”, ia menceritakan kisahnya mengenal paham ini dengan mengatakan:
    “Ketika saya belajar agama di Pakistan antara tahun 1986 s/d 1987, saya melihat betapa kaum
    muslimin di dunia ini tercerai berai dalam berbagai kelompok aliran pemahaman. Saya sedih dan
    sedih melihat kenyataan pahit ini. Ketika saya masuk ke medan jihad fi sabilillah di Afghanistan
    antara tahun tahun 1987 s/d 1989, saya melihat semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin
    dengan mengunggulkan pimpinan masing-masing serta menjatuhkan tokoh-tokoh lain...
    Di tahun-tahun jihad fi sabilillah itu saya mulai berkenalan dengan para pemuda dari Yaman dan
    Surian yang kemudian mereka memperkenalkan kepada saya pemahaman Salafus Shalih Ahlus
    Sunnah wal Jamaah. Saya mulai kenal dari mereka seorang tokoh dakwah Salafiyah bernama
    Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i...
    Kepiluan di Afghanistan saya dapati tanda-tandanya semakin menggejala di Indonesia. Saya kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1989, dan pada Januari 1990 saya mulai berdakwah. Perjuangan dakwah yang saya serukan adalah dakwah Salafiyah...”
    Ja’far Thalib sendiri kemudian mengakui bahwa ada banyak yang berubah dari pemikirannya,
    termasuk diantaranya sikap dan kekagumannya pada Sayyid Quthub, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin yang dahulu banyak ia lahap buku-bukunya. Perkenalannya dengan ide gerakan ini membalik kekaguman itu 180 derajat menjadi sikap kritis yang luar biasa – untuk tidak mengatakan sangat benci-.
    Di samping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’ (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah –majalah Gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia-, sebelum kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian.
    Adapun tokoh-tokoh luar Indonesia yang paling berpengaruh terhadap Gerakan Salafi Modern ini –di samping Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tentu saja- antara lain adalah:
    1. Ulama-ulama Saudi Arabia secara umum.
    2. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albany di Yordania (w. 2001)
    3. Syekh Rabi al-Madkhaly di Madinah
    4. Syekh Muqbil al-Wadi’iy di Yaman (w. 2002).
    Tentu ada tokoh-tokoh lain selain ketiganya, namun ketiga tokoh ini dapat dikatakan sebagai sumber inspirasi utama gerakan ini. Dan jika dikerucutkan lebih jauh, maka tokoh kedua dan ketiga secara lebih khusus banyak berperan dalam pembentukan karakter gerakan ini di Indonesia. Ide-ide yang berkembang di kalangan Salafi modern tidak jauh berputar dari arahan, ajaran dan fatwa kedua tokoh tersebut; Syekh Rabi’ al-Madkhaly dan Syekh Muqbil al-Wadi’iy. Kedua tokoh inilah yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap munculnya gerakan Salafi ekstrem, atau –meminjam istilah Abu Abdirrahman al-Thalibi- gerakan Salafi Yamani.
    Perbedaan pandangan antara pelaku gerakan Salafi modern setidaknya mulai mengerucut sejak
    terjadinya Perang Teluk yang melibatkan Amerika dan Irak yang dianggap telah melakukan invasi ke Kuwait. Secara khusus lagi ketika Saudi Arabia “mengundang” pasukan Amerika Serikat untuk membuka pangkalan militernya di sana. Saat itu, para ulama dan du’at di Saudi –secara umum- kemudian berbeda pandangan: antara yang pro dengan kebijakan itu dan yang kontra.
    Sampai sejauh ini sebenarnya tidak ada masalah, karena mereka umumnya masih menganggap itu sebagai masalah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan tersebut. Namun berdasarkan informasi yang penulis dapatkan nampaknya ada pihak yang ingin mengail di air keruh dengan “membesar-besarkan” masalah ini.
    Secara khusus, beberapa sumber menyebutkan bahwa pihak Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia saat itu–yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang tidak terlalu suka dengan gerakan dakwah yang ada- mempunyai andil dalam hal ini. Upaya inti yang dilakukan kemudian adalah mendiskreditkan mereka yang kontra sebagai khawarij, quthbiy (penganut paham Sayyid Quthb), sururi (penganut paham Muhammad Surur ibn Zain al-‘Abidin), dan yang semacamnya.
    Momentum inilah yang kemudian mempertegas keberadaan dua pemahaman dalam gerakan Salafi
    modern – yang untuk mempermudah pembahasan oleh Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi disebut sebagai-: Salafi Yamani dan Salafi Haraki. Dan sebagaimana fenomena gerakan lainnya, kedua pemahaman inipun terimpor masuk ke Indonesia dan memiliki pendukung.

    (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alhamdulilah Jaza Kumullohu Khoiro , Atas Komentarnya Semoga Alloh Paring aman, selamat, lancar, berhasil, barokah...!