FORUM PENGAJIAN QUR'AN HADITS

"Kami hanya ingin menegakkan nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits"
cbox

Jumat, 05 Juli 2013

SIMBOLISME, MITOS, LEGENDA, BID'AH, DAN SYIRIK

Assalaamu'alaikum.

Di hari Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1434 / 5 April 2013 PAGI setelah Subuh tadi, saya tak sengaja menyaksikan acara "Khazanah" di saluran TV tempat banyak sahabat saya bekerja, Trans 7 atau TransTV.

Dan maa syaa Allah, laa haula wa laa quwwata illa billah, tayangan tadi, membahas tentang Syirik dan lain-lain, yang ternyata in syaa Allah isinya adalah 80-90% sama dengan catatan yang pernah saya buat di bawah ini. Dan tayangan itu dengan visualisasinya yang bagus, tentu. Wallohua'lam.

Maka saya muatkan catatan saya itu di sini, semoga bermanfaat. Aamiin:


Simbolisme, Mitos, Legenda, Bid'ah dan sebagainya

Marilah kita memulainya dengan sedikit mengenali aneka simbol dalam kehidupan masyarakat - yang kiranya memang menyenangi Simbolisme - sebagai salah satu dasar telaah panjang kita nanti ini, in syaa Allah.

Simbol Mitologis dan Mistis dalam khazanah kehidupan manusia, disebutkan memiliki hubungan kosmologis dengan manusia, alam, dan Tuhan (ini menurut Niels Mulder 1996:54).

Dan simbol serta idiom budaya yang dimitoskan itu, adalah kekayaan budaya yang efektif agar dapat dipakai sebagai pelajaran, pengajaran, terutama dalam hal yang berkaitan dengan nilai moralnya (menurut Franz Magnis Suseno 1995:27). Menurutnya pula, standar etika Jawa ternyata dipenuhi nuansa mistiksimbolik dan mitologis (1991:23).

Demikian pula kiranya kecenderungan yang terjadi dengan berbagai suku-bangsa diseluruh dunia, entah di Mesir, Yunani, Cina, India, Babylonia, Persia, Paganisme Eropa, Indian Amerika, Afrika, dan sebagainya; dengan adanya berbagai simbolisme, mistisme, legenda, mitos dari mereka.

Sebagai contoh, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Budiono Herusatoto 1983:9) terjadi karena:

• Jaman Kebudayaan Asli Jawa
• Hindu-Jawa
• Hindu-Jawa & Islam-Jawa

Dan ini biasanya dipengaruhi oleh rasa keingintahuan, aneka pertanyaan dalam kehidupan, dan ini menjadi berwujud:

• Kepercayaan
• Legenda
• Mitos
• Mistik
• Simbol dan idiombudaya
• Cerita rakyat(dongeng)
• Anekdot
• Kisah Fiksi
• Fabel
• Dan lain-lain.

Demikianlah menurut mereka. Dan dari adanya pertanyan-pertanyaan akan kehidupan ini, di sisi lain, Filsafat juga timbul. Perbedaannya adalah bahwa Filsafat biasanya datang dari Barat dan mengandalkan telaah Jalur Akal, dan sebagai catatan, walaupun mengandalkan Jalur Akal, namun tetap saja tak semuanya benar, malah banyak pula yang keterlaluan dan salah. Bahkan dalam apa-apa yang diklaim sebagai Rasionalisme Filsafat, yang malah seringkali keterlaluan, salah. Tentu saja demikian, karena kemampuan berpikir manusia (termasuk Rasio atau Logika) sebenarnya terbatas.

Dan di berbagai masyarakat itu, kita mengtahui bahwa di berbagai belahan dunia, tak terkecuali, sejak dulu juga dikenal aneka kepercayaan, legenda, mitos, cerita, dan lain-lain akan apa yang dikenal dan disebut sebagai:

Dewa-dewi, Jin, Peri, Bidadari, Kurcaci, Siluman, Makhluk Jejadian campuran beberapa jenis makhluk (misalnya setengah manusia setengah hewan-binatang seperti Unicorn dan Medusa di Yunani dan Anubis di Mesir serta Sun Goo Kong di Cina juga Hanuman dan Ganesha di India atau binatang legenda yang tak pernah ada namun berbentuk fisik campuran berbagai binatang-hewan lain seperti Naga di Cina dana bentuk kombinasi lain), juga lambang-lambang, angka-angka, huruf-huruf; yang mewakili sesuatu makna, di dalam dan di luar kehidupan manusia.

Tak terkecuali pula, maka hal ini semua - dalam rata-rata budaya dan peradaban masyarakat dunia - cenderung dipercaya mampu menimbulkan suatu pengaruh, mempengaruhi manusia, dalam aneka variasi sistem kepercayaannya.

Aneka makhluk ini juga menimbulkan berbagai legenda, mitos, kisah fiksi, kepercayaan, dan sebagainya, juga dalam keluarga besar akan apa yang kemudian disebut sebagai Mistik-Mistikisme (Mistisisme), dan Animisme serta Dinamisme, dan lain-lain.

Legenda, dan sebagainya itu, sering diwakili dengan berbagai simbol, juga tentu saja memiliki aneka pesan baik yang baik dan buruk, baik yang benar dan salah, dalam pandangan agama (Islam).

Dan dalam taraf lebih-lanjut, maka penggunaan Simbolisme ini juga ditemukan dapat telah dan sedang bercampur dalam aneka pengajaran moral, tata kehidupan, adab, dan sebagainya, termasuk dalam penyebaran, da’wah, dari agama Islam. Dan menjadi wajah dari da’wah Islam versi Sufi, Islam versi Jawa (Islam Jawa), versi Melayu (Islam Melayu), dan lain-lainnya. Dan hasilnya, telah menjadi tradisi. Maka ada yang kemudian menyebut ini di Indonesia sebagai Islam Tradisional (Jawa atau Melayu dan sebagainya).

Ini juga ternyata dapat saja bercampur dengan aneka Mitos, Legenda, adat-istiadat Dinamisme dan Animisme, dan sebagainya; dalam wilayah syubhat yang dapat memancing keraguan dan perdebatan khilafiyah bagi yang tak cukup berilmu, bercampur dengan (atau mengakibatkan) aneka bid’ah dan bahkan juga dapat saja bahkan menjadi aneka bentuk dari syirik, kekafiran; jika belumparipurna, jika belum tuntas, jika belum lengkap, jika belum kaaffah (menyeluruh) atau disebut juga sebagai
“Islam Kaaffaah”.

Demikianlah sekilas mengenai Simbolisme, Mitos, Legenda, Mistikisme, dan kecenderungan masyarakat terhadapnya, dan dalam penyesatan dari Iblis-Setan, sebagai musuh manusia yang nyata dan dari kaum kafir.

Sebagai catatan, penyebutan dari Setan sebagai ”musuh manusia yang nyata”disebutkan banyak sekali berulang-kali di Al Quran, yang antara lain dinyatakandengan jelas di Al Quran Surat Al Baqarah ayat 168 dan 208 (2:168 dan 2:208), Al An’aam ayat 142 (6:142), Al Israa’ ayat 53 (17:53), Yaa Siin ayat 60(36:60). Al A’raaf ayat 22 (7;22), Yusuf ayat 5 (12:5), Az Zukhruf ayat 62 (43:62), Al Qashash ayat 15 (28:15). Dan bahwa kaum Kafir adalah juga sebagai ”musuh manusia yang nyata”, juga disebutkan, yakni di Al QuranSurat An Nisaa’ ayat 101.

Dan ini, pada gilirannya, tentu saja dapat bercampur dengan amalan Bid'ah.

Mengenai Bid’ah, seperti yang didefinisikan oleh Imam asy Syathibi', rahimahulloh, adalah"cara beragama yang dibuat-buat, yang meniru syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu sebagai cara berlebihan dalam beribadah kepada Allah subhanahuwa ta’aala"

(Asy-Syathibi, Kitabal-I'tishaam, terbitan Beirut: Darul Ma'rifah, juz 1, hlm. 37). Ini merupakan definisi bid’ah yang paling tepat, mendetail, dan mencakup serta meliputi seluruh aspek bid’ah.

Maka sama-sekali bukanlah bid’ah, di luar perkara ibadah, seperti yang banyak disangkakan akan penggunaan teknologi kelistrikan, teknologi Komputer, teknologi Internet, teknologi Audio dan Video, teknologi Satelit, dan lain-lain dalam beribadah, dalam berdakwah, dalam beramal salih, dan sebagainya bentuk ibadah. Apalagi teknologi yang tak berhubungan dengan maksud ibadah dan dakwah ini.

Bahkan ada yang sungguh menyangka– atau sengaja membuat kisruh – dengan mencampur-adukkan cara kehidupan masa kini sesederhana cara makan menggunakan sendok-garpu, memakai celana berbahankain Denim (yang populer disebut sebagai Jean’s), naik sepeda motor, atau menonton televisi, dan lain-lain; sebagai bid’ah, hanya karena Rosululloh–shollollohu ‘alaihi wasallam – dulu tak menggunakan sendok-garpu dalammenikmatihidangan beliau, hanya karena dulu belum ada celana denim (Jean’s)dan beliautak memakainya, hanya karena beliau dulu tak naik sepeda motor, hanya karena televisi belum ada di jaman beliau dan beliau tak menonton televisi, dan banyak contoh lain yang menyedihkan, namun juga mengherankan dan menggelikan, sayang sekali.

Bahkan beliau sesungguhnya memakai teknologi terbaru, tercanggih di masanya, misalnya, Baju Perang dari Besi-Baja yang adalah hasil adaptasi dari teknologi berperang bangsa Romawi, strategi berperang dengan menggali parit – dalam Perang Khandaq - hasil adaptasi dari teknologi berperang bangsa Persia, dan sebagainya.

Di lain sisi, ada saja orang anti sunnah, yang mengesankan bahkan menyebarkan kebohongan-fitnah bahwa para penganjur sunnah, justru picik dan mengatakan, menganggap bahwa semua hal baru adalah bid’ah. Misalnya bahwa para penganjur sunnah mengatakan bahwa naik sepeda motor itu adalah bid’ah, menonton televisi itu adalah bid’ah, memakai komputer itu adalah bid’ah, dan sebagainya.

Semoga Allah memberikan mereka hidayah. Aamiin.

Lebih lanjut, kalau seseorang juga tidak benar-benar memahami hakikat bidáh maka dapat pula rancu dengan sesuatu yang disebut Mashalihul Mursalah.

Sepintas, memang lah antara Bid’ah dan Mashalihul Mursalah ini ada yang menjadi kemiripan keduanya, namun hakikatnya sebenarnya pun berbeda.

Adapun perbedaannya itu adalah sebagai berikut ini:

1. Mashalihul Mursalah terjadi pada perkara duniawi atau pada sarana (wasilah) demi penjagaan lima maqosid syariát yaitu agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sementara bidáh terjadi pada ibadah atau ghayah.

2. Mashalihul Mursalah tidak ada tuntutan untuk dikerjakan pada masa Rosululloh – shollollohu ‘alaihiwasallam –, adapun bidáh tuntutan untuk dikerjakannya sudah ada pada masa Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam.

‘Ulama Abad XX Masehi, Syaikh DR. Yusuf Qardhawi juga menyatakan, dalam tulisannya yang berjudul “Sunnah dan Bid’ah” (di Indonesia diterbitkanGema Insani Press) sebagai berikut:

Asal kata bid'ah adalah diambil dari kata “bad'a” dan“ibtada'a”, yang bermakna “menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya”.

Dan lebih lanjut, beliau, Syaikh DR. Yusuf Qardhawi, menulis dalam keterangannya yang berharga:

Ada ulama yang membagi bid'ah menjadi dua macam yaitu:

1. bid'ah hasanah (bid'ah yang baik)
2. bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang buruk').


‘Ulama besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menulis redaksinya yang amat bagus, yang membantah atau melawan orang yang menganggap baik perbuatan bid'ah, seperti yang beliau tulis dalam kitabnya "Iqtidha shiiraathal-Mustaqim, Mukhalafatu Ashhabual-Jahim", (Beirut: Darul Ma'rifah), halaman 270 danseterusnya.

Ada juga ‘ulama yangmembagi bid'ah menjadi lima macam,seperti halnya lima macam hukum syariat,yaitu:

1. bid'ah wajibah (bid'ah yang wajib dilakukan)
2. bid'ah mustahabbah (bid'ah yang dianjurkan untuk dilakukan)
3. bid'ah makruhah (bid'ah yang makruh dilakukan)
4. bid'ah muharraamah (bid'ah yang haram dilakukan)
5. bid'ah mubaahah (bid'ah yang boleh dilakukan).


Pendapat mereka ini telah dibahas dan didiskusikan oleh Imam asy-Syathibi secara mendetail. Pada akhirnya, ia berkesimpulan bahwa pembagian bid'ah seperti ini adalah suatu perbuatan mengada-ada yang sama sekali tidak didukung oleh syariat.

Bahkan, ia bersifat kontradiktif dalam dirinya sendiri. Karena, hakikat suatu bid'ah adalah sesuatu yang sama sekali tidak mempunyai dalil, baik dari nash syariat maupun dari kaidah-kaidahnya.

Seandainya di dalam syariat ada sesuatu dalil yangmenunjukkan kewajiban, sunnah, atau bolehnya sesuatu (perbuatan bid'ah) itu, niscaya tidak ada bid'ah, dan niscaya perbuatan itu masuk dalam kelompok perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan atau diberi kesempatan untuk dikerjakan. Lihat al-I'tishaam, (Beirut: Darul Ma'rifah), 1/188-211.

Ungkapan yang paling tepat dalam masalah ini adalah bahwa pendapat tadi pada akhirnya bertemu pada muara yang sama dan sampai pada kesimpulan yang sama pula. Karena, mereka -misalnya - memasukkan masalah pencatatan Al Quran dan pengkompilasiannya dalam satu mushaf, juga masalah pengkodifikasian ilmu nahwu, ilmu ushul fiqih, dan pengkodifikasian ilmu-ilmu keislaman yang lain, dalam kategori bid'ah yang wajib dan sebagai bagian dari fardhu kifayah (kewajiban kolektif).

‘Ulama yang lain menggugat penamaan perbuatan tadi sebagai bagian dari bid'ah. Menurut mereka, pengklasifikasian bid'ah semacam itu adalah pengklasifikasian bid'ah berdasarkan pengertian lughowi 'etimologis', sedangkan pengertian kata bid'ah yang kami gunakan adalah pengertian secara terminologis syar'i.

Sedangkan, hal-hal tadi (seperti pencatatan Al Quran dan pengkompilasiannya) tidak kami masukkan dalamkategori bid'ah. Adalah suatu inisiatif yang tidak tetap memasukkan hal-hal semacam tadi dalam kelompok bid'ah.

Yang terbaik adalah kita berpedoman pada pengertian bid'ah yang dipergunakan oleh hadits syarif. Karena, dalam hadits syarif diungkapkan redaksi yang demikian jelas ini, "Karena setiap bid'ah adalah sesat" dengan pengertian yang general (umum).

Jika dalam hadits itu diungkapkan, "Karena setiap bid'ah adalah sesat," maka tidak tepat kiranya jika kita kemudian berkata bahwa di antara bid'ah ada yang baik dan ada yang buruk, atau ada bid'ah wajib dan ada bid'ah yang dianjurkan, dan sebagainya.

Kita tidak patut melakukan pembagian bid'ah seperti ini.

Yang tepat adalah jika kita mengatakan seperti yang diungkapkan oleh hadits, "Karena setiap bid'ah adalah sesat."

Dan, kata bid'ah yang kami pergunakan itu adalah kata bid'ah dengan definisi yang diucapkan oleh Imamasy-Syathibi, "Bid'ah adalah suatu cara beragama yangdibuat-buat,"yang tidak mempunyai dasar dan landasan, baik dari Al Quran, sunnah Nabi –shollollohu ‘alaihi wasallam -, ijma', qiyas, maupun maslahat mursalah, dan tidak juga dari salah satu dalil yang dipakai oleh para fuqaha.


Demikianlah di atas,tulisan dari DR. Yusuf Qardhawimengenai Sunnah dan Bid’ah di buku yang berjudul sama.


Kemudian mari kita melihat Hadits Syarif yang dimaksud tersebut:

... Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalanhidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan.Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dantiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)


Dan lebih khusus dari Hadits itu, marilah kita melihat bahwa, "Setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan (menjurus) di neraka", alias dalam Bahasa Arabnya adalah, "Kullu bid'atin dlolalah wakullu dholalatinfin naar" (HR Muslim)

Maka kalimat "Kullubid'atin dlolalah wa kullu dlolalatin fin naar" ini adalah sabda Nabi-shollollohu ‘alaihi wasallam - yang diriwatkan oleh Imam Muslim dan An-Nasa'i yang artinya, bahwa semua (atau setiap) bid'ah itu sesat dan semua kesesatan itu tempatnya (ujung-ujungnya) adalah di neraka.

Kalimat "kullu bid'atin" berarti bahwa "Semua (atau setiap bentuk) bid'ah".

Ini bersifat menyeluruh, yang didahului dengan kata yang bermakna menyeluruh dan meliputi segala aspeknya, tak ada makna lainnya dalamBahasa Arab, yaitu "kullu".

Kita mengetahui bahwa yang bersabda dengan kalimat ini adalah Rosululloh - shollollohu ‘alaihi wasallam –yang beliau tentu saja amat memahami maksud dari kalimat ini, tentunya tidak sedang bercanda, dan beliau adalah makhluk Allah yang paling fasih dalam Bahasa Arab dan dikaruniai keistimewaan sebagai Utusan Allah.

Beliau - shollollohu‘alaihi wasallam – adalah yang paling menunaikan nasihat (agama (*)) untuk manusia, tidaklah beliau berkata-kata kecualibeliau memahami makna dari apa yang diucapkannya.

Dari ‘Aisyah rodhiollohu'anha, katanya: "Percakapannya Rasulullah – shollollohu ‘alaihi wasallam -itu adalah merupakan percakapan yang terpisah-pisah -yakni jelas sekali antara kata yang satu dengan kata yang lainnya- dan dapat dimengerti oleh setiap orang yang mendengarnya." (Riwayat Abu Daud dari Kitab RiyadhusSholihin)

(*) Dari Abu Ruqoyyah Tamiim bin Aus Ad-Daari rodhiyallohu’anhu, sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Agama itu adalah nasihat”. (HR.Muslim)

Tidakkah demikian?

Maka, ketika beliau bersabda, "Semua bid'ah itu sesat, dan semua kesesaan di neraka", beliau benar-benar memahami maksud dari sabdanya.

Beliau menyampaikan sabdanya ini sebagai bentuk kesempurnaan nasihat beliau kepada umat ini, termasuk kepada saya dan anda.

Jika telah jelas, bahwa bahwa sabda Rosululloh – shollollohu‘alaihi wasallam – ini bersumber dari kesempurnaan nasihat dan kehendak, kesempurnaan penjelasan dan kefasihan, serta kesempurnaan ilmu dan pemahaman, maka maksud dari sabda beliau adalah seperti kandungan dari ucapan beliau. Tak berbelok-belok.

Tak pernah pula Rosululloh – shollollohu ‘alaihi wasallam – sampai menyebutkan adanya bid’ah jenis hasanah, bid’ah jenis sayyi’ah, atau bid’ah jenis A, jenis B, jenis C dan seterusnya.

Maka, jika setelah penjelasan beliau ini jelas sekali bahwa seluruh bid'ah itu sesat dan seluruh kesesatan itu di neraka, apakah boleh, adakah boleh bagi kita, merasa diri sepintar apapun, untuk membagi-bagi bid'ah menjadi dua, tiga, atau lima bagian?

Atau lebih banyak atau lebih sedikit lagi?

Kiranya sama sekali hal ini tidak dapat diterima.

Adapun jika sampai ditemui adanya pembagian-pembagian bid'ah, yang itu pun sebenarnya bersumber dari ‘Ulama dan bukan dari Rosululloh– shollollohu ‘alaihi wasallam –, maka hal itu tidak lepas dari dua kondisi, yang in syaa Allah, adalah sebagai berikut:

1. Hal tersebut mungkin sekali bukanlah suatu perkara bid'ah, tetapi ‘Ulama tersebut menganggapnya sebagai suatu amalan yang bid'ah

2. Hal itu adalah sebuah perkara bid'ah, namun ‘Ulama tersebut tidak memahami akan nilai kejelekan amalan bid'ah yang ada pada amalan tersebut.

Dan ada pula faktor tak sampainya aneka nash, dalil, ke sebagaian ‘ulama, yang mengakibatkan mereka melakukan kekeliruan.

Dengan demikian, maka sungguh sebenarnya tidaklah ada alasan bagi mereka yang beranggapan bahwa ada berbagai pembagian bid’ah itu, semisal bid'ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, sedangkan Rosululloh – shollollohu‘alaihi wasallam – telah menyampaikan sabdanya yang tegas dan jelas ini.

Sabda beliau –shollollohu ‘alaihi wasallam - ini adalah ibarat pedang tajam yang bersumber dari sumber kenabian dan kerasulan, bukan dari sesuatu sumber yang bersifat kebimbangan dan kebingungan manusiawi. Sabda ini adalah sabda yang beliau –shollollohu ‘alaihiwasallam – sepuh, dengan kebalaghahan (kegamblangan) yang paling baligh.

Maka, barang siapa yang di tangannya memiliki pedang setajam sabda beliau ini, (Hadits) ini, tidak akan bisa dihadapi (dilawan) oleh mereka yang membuat bid'ah dan ia berkata bahwa bid'ahnya itu hasanah (baik), sedangkan Nabi - shollollohu ‘alaihi wasallam -bersabda "Semua bid'ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka", dengan tegas dan gamblang.

Kemudian ada juga makna Sunnah yang lain yang menjadi perhatian para ‘Ulama Syari’ah, yaitu Sunnah dengan pengertian sebagai antonim (lawan kata) dari Bid’ah.

Atau, apa yang disunnahkan dan disyariatkan oleh Rosululloh – shollollohu ‘alaihi wasallam -bagi umatnya versus (melawan) apa yang dibuat-buat oleh para pembuat bid’ah setelah masa Rosulullah – shollollohu‘alaihi wasallam - yang tentu saja tak dikenal di jaman beliau – shollollohu ‘alaihi wasallam - dan para Sahabatnya (yang dalam hal ini adalah termasuk juga para Ahlul Baitnya) -rodhiollohu‘anhum – yang telah dijamin beliau kebaikan keisalamannya, kebaikan Manajemen Kualitas Keislamannya.

Pengertian sunnah seperti inilah yang disinyalir oleh hadits riwayat Irbadh bin Sariah –rodhiollohu‘anhu - , dalam salah satu hadits dari Kitab tentang empat puluh hadits Nawawiyang terkenal itu (Hadits Arba'in anNawawi):

"... orang yang hidup setelahku nanti akan melihat banyak perbedaan pendapat (di kalanganumatIslam). Dalam keadaan seperti itu, hendaklah kalian berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu dan janganlah kalian mengikuti hal-hal bid’ah, karena setiap perbuatan bid’ah adalah sesat." Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam kitab shahih-nya, dan Ahmad. Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan sahih. Lihat al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhiib1/110, hadits 24.


Bahkan ditemui aneka ajaran bid’ah dan/atau kesyirikan ini dapat saja melalui anjuran orang yang kita kira, dikira orang sebagai orang-orang salih, orang-orang ‘alim.

Bahkan dari yang dipercayai dan disebuti sebagai ‘Ulama, Kyai, Ustadz, Da’i, Muballigh, Tuan Guru, Syaikh, Habib, Sayyid, Syarif-Syarifah, Wali, dan sebagainya, yang mungkin saja tentu berilmu agama(‘alim), namun sebagai manusia biasa mungkin juga sedang lupa-diri.

Atau boleh jadi apa yang sebenarnya mereka ajarkan tidaklah demikian, namun dikira demikian atau diselewengkan menjadi demikian.

Juga setelah sekian lama waktu berlalu.

Apakah mereka dan kita ma’shum, alias tidak mungkin salah,suci dari dosa?

Tentu saja tidak!

Hanya Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam yang dijamin demikian.

Karenanya sungguh perlu untuk selalu mencocokan kelakuan kita dengan petunjuk dari beliau dalam AsSunnah (Al Hadits) dan firman dari Allah dalam Al Quran.


“Barang siapa yang berbuat bid’ah, atau melindungi kebid’ahan, maka dia akan mendapat laknat dariAllah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslimdari ‘Ali bin Abi Thalib)


Dan ini semua, bid’ah dan/atau kesyirikan, bahkan dapat ditulis, diperdengarkan, dipertontonkan melalui berbagai macam Media, termasuk Media Elektronik, bahkan juga diiklankan dan bertarif! Kita sungguh dapat menemukan berbagai bentuk dan variasinya di kehidupan di sekitar kita.

Bahkan mungkin kita sendiri telah melakukannya, sadar atau tidak!

Maka sekali lagi, yang terpenting adalah mencocokkan segala yang dianjurkan mereka, yang dilakukan mereka (dan kita), dengan standar kualitas keislaman dalam Al Qurandan As Sunnah-Al Hadits, dan mengetahui Sejarah Islam dan perpecahan-perpecahan dalam Islam, termasuk yang melahirkan aneka bid’ah, juga kesyirikan, yang dapat saja dikira sebagai sesuatu amalan-ibadah yang syar’i.



Syirik

Ada dua (2) jenis Syirik dari sisi besar-kecilnya, yakni Syirik yang Akbar (besar), dan Syirik yangAsghar (kecil):


I. SYIRIK AKBAR (besar)

Konsekuensi dari Syirik Akbar adalah menghapuskan semua amalan dan pelakunya langsung masuk Neraka JIKA meninggal tak bertobat (dalil dari Al Quran Surat An Nisaa' ayat 116).

Contoh dari Syirik Akbar (dan dapat dimulai dari bid’ah) adalah seperti:


- Meminta pertolongan atau bekerjasama dengan Jin-Setan-Makhluk halus jenis apapun seperti Siluman,Tuyul, Dalbo, Genderuwo, Dewa-dewi, Makhluk Jadi-jadian (seperti Leak, Manusia Harimau dan sebagainya), Peri, Bidadari, yang disebut sebagai “Mbah-Eyang” dari kalangan Makhluk Halus, tokoh masa lalu yang muncul kembali baik dalam mimpi maupun muncul dari alam ghoib dan lain-lain).

Termasuk mempercayai bahwa makhluk-makhluk ini dapat mendatangkan suatu manfaat atau mudhorot(keburukan) kepada manusia, mempengaruhi langsung kehidupan dan takdir manusia.


- Memakai kekuatan tertentu melalui Jimat dengan tulisan-tulisan. Termasuk yang dikenal sebagai Rajjah atau Rajjah-rajjah dengan aneka simbol tertentu, yang juga dapat dalam aneka bentuk seperti kertas bertuliskan ini , kain bertuliskan ini, kulit bertuliskan ini, Kalung dengan ini, Cincin dengan ini, Ikat Pinggang dengan ini, Sikep, Keris, Tombak, dan sebagainya; untuk suatu hal-perkara.


- Menggunakan Sihir,yang jelas adalah dengan mengandalkan bantuan dari yang disebutkan diatas. Misalnya, melakukan hal-hal ajaib non-manusiawi dengan ciri utama adalah ini dapat dilakukannya kapan saja ia inginkan, seperti berpindah tempat seketika, mengetahui rahasia-pikiran orang, mengetahui gambaran masa depan, mengambil-mencuri barang dari jauh, menggunakan Ajian Pelet, Ajian Buluh Perindu, Susuk untuk pesona dan/atau kecantikan dan/atau kewibawaan dan lain-lain, Ilmu Kebal, dan sebagainya.


- Meminta doa-pertolongan dari atau melalui orang yang sudah mati (walaupun yang sudah mati itu dikenal sebagai orang 'alim-salih, disebut-dikenal sebagai Wali atau bahkan kepada atau melalui para Nabi termasuk kepada atau melalui Rosululloh Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam sekalipun).

o Termasuk berdoa kepada Allah melalui orang yang sudah mati, walaupun orang itu dikenal, dianggap sebagai orang ‘alim, Ustadz, Da’i, Tuan Guru, Kyai, Syaikh, Habib, Sayyid, Imam, Wali, bahkan melalui Nabi yang manapun sekalipun. Misalnya dengan kalimat(doa) yang ditujukan kepada orang yang telah meninggal dunia seperti ini:

“Kanjeng Sunan (Wali) -atau Mbah Wali - tolong sampaikan doa saya kepada (Gusti) Allah, bahwa sayameminta … (ini dan itu) … Bantulah saya … ”

“Yaa Musthofa, yaa Habibi, yaa Sayyidina (dsb.) Rosululloh Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam,tolong sampaikan doa saya kepada Allah, bahwa saya meminta … (ini dan itu) …Bantulah saya … ”


- Meminta pertolongan DARI atau MELALUI Kuburan, mengagungkan-mengkultuskan Kuburan, bahkan beribadah (semedhi-meditasi, sholat, berdzikir, membaca Al Quran, dan sebagainya) di Kuburan, dan berkaitan juga dengan yang sudah disebutkan di atas dengan meminta pertolongan dari atau melalui ruh atau mayyit yang dimakamkan di kuburan itu atau ‘anak-buahnya’.

o Ziarah Kubur adalah sunnah dan sangat boleh dilakukan. Namun jika lantas diikuti dengan perilaku kesyirikan (seperti di atas), maka ini adalah dilarang.

Misalnya kepada orang yang sudah meninggal namun dianggap salih dan baik yang bahkan diyakini sebagai Wali pada masa hidupnya, ziarah ke kuburan para Sahabat dan Ahlul Bait rodhiollohu ‘anhum yang hidup di masa Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam atau sesudahnya, atau bahkan ziarah ke kuburan (para) Nabi pun, termasuk kuburan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, sungguh dapat menjebak menjadi Syirik, jika lantas diikuti dengan perilaku kesyirikan (seperti di atas).

o Dalam sejarah Islam, bahkan Ka’bah sebagai pusat peribadahan muslim pernah menjadi tempat pemyimpanan sejumlah patung berhala dan pemujaan terhadapnya sebelum patung-patung itu dimusnahkan oleh Rosululloh shollollohu ‘alaihiwasallam.

Pemberhalaan ini (pematungan, pengornamenan, pencitraan, dan sebagainya) serta pemercayaan Tuhan menjadi banyak (Politeisme atau Syirik) kemudian, biasanya disebabkan pemujaan terhadap sesosok manusia yang dianggap mulia dan/atau menonjol pada masanya (mungkin sebagai bahan memorabilia-pengingatan mudahnya karena jaman dulu belum ada fotografi sepeti sekarang ini) yang kemudian perlahan bergeser menjadi pemujaan-penuhanan terhadapnya, atau adalah karena disebabkan khayalan manusiawi semata akan bentuk dari Tuhan; dan sebagainya, pada awalnya.

Ini dapat pula dibaca antara lain di berbagai karya “Sirah Nabawiyah” dari berbagai penulis terkemuka, dan juga “The History of the Arabs” oleh Philip Khuri Hitti.

o Hal yang serupa, dapat terjadi kepada pengkultusan makam atau kuburan manusia yang dianggap salih-muliadan/atau menonjol pada masanya. Banyak yang berlebihan menyikapi kuburanseseorang yang diyakini manusia sebagai orang salih, Kyai, Habib, Sayyid, Wali,misalnya.

Padahal, siapakah yang mengetahui seseorang itu Wali atau tidak, selain Allah subhanahu wata’aala?

Apakah karena seorang Muslim melakukan berbagai keajaiban seseorang pasti adalah Wali? Apakah pun jika seseorang itu adalah Wali maka ia ma’shum tak ada berdosa sama-sekali?

Kita doakan beliau, semoga benarlah beliau adalah seorang Wali dan kita ikuti ajaran beliau yang baik dan benar sesuai tuntunan agama, dan semoga pahala pula untuknya dan untuk kita yang melaksanakannya, namun janganlah sampai terjebak kepada pengkultusan dan/atau penyangkaan yang tidak-tidak.

o Dan beberapa hal berlebihan memperlakukan kuburan yang dapat menjadi sumber fitnah pengkultusan ini, antara lain, meninggikan kuburan lebih dari satu jengkal, menembok dan mencat kuburan,membangun rumah untuk kuburan, duduk dan makan di kuburan (misalnya sebagai bentuk syukuran atau selamatan), membaca Al Quran di kuburan, berdzikr di kuburan, dan sebagainya.

Ini tidak diajarkan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam. Sebagian ahli berpendapat, peninggian makam lebih dari satu jengkal dan bahkan pembangunan bangunan untuk kuburan, pertama kali dilakukan kaum Syi’ah terhadap orang-orang tertentu dari kaum mereka.


- Berkurban (memberi Sesajen) untuk ruh yang sudah meninggal atau makhluk halus (Jin-Setan dan sebagainya yang disebutkan di atas).

Misalnya dengan penanaman kepala Kerbau (atau kepala Sapi, kepala Kambing dan sebagainya), penyembelihan Ayam Cemani dan sebagainya, lalu berkaitan dengannya pula dengan diikuti pengucuran darah binatang yang di sembelih itu di tempat tertentu, Larung Sesajen yang dilarungkan ke Laut, sesajen dengan Kemenyan, sesajen dengan Rokok, sesajen dengan Bunga, sesajen dengan Tumpeng (yang bukan untukdikonsumsi manusia), penaburan Bunga tertentu (misalnya bunga 7 rupa) di tempat-tempat tertentu seperti misalnya di perempatan jalan dan/atau di hari-hari tertentu, pembakaran Kemenyan untuk menyenangkan makhluk ghoib, dan lain-lain.


- Merasa takluk kepada hantu-makhluk yang sudah mati atau yang ghoib, baik yang muncul maupun yangtidak, misalnya yang sering disebut sebagai Hantu, Pocong, Arwah Penasaran,Roh, Kuntilanak, Leak, Genderuwo, Dalbo, Manusia Harimau, bahkan legenda-mitos Vampir, Manusia Serigala, dll.


- Dan sebagainya.


II. SYIRIK ASGHAR (kecil)

Konsekuensi dari Syirik Asghar adalah menghapus nilai amalan yang bercampur dengannya (Al Quran Surat Al Kahfi ayat 110).

Syirik Asghar (kecil),dibagi menjadi yang:

(1) Zhahir (nyata):

“Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah subhanahu wa ta’aala maka ia telah berbuat Kufur atau Syirik.“ (HR At Tirmidzi no 1535,Al Hakim I/18 & IV/297, Ahmad II/34, 69, 86 dari ‘Abdullah bin Umar -rodhiollohu ‘anhu -)

Misalnya:

Bersumpah "Demi Rosululloh!", "Demi Ka'bah!", "Demi Bapak-Ibuku!", dsb. Ini tidak perlu dan tidak diperbolehkan dalam agama.

Jika masih ingin 'seperti' ini, boleh, jika diubah menjadi, "Demi Allah subhanahu wa ta’aala yangmengutus Rosululloh!", "Demi Allah subhanahu wa ta’aala yang mempunyai Ka'bah!", "Demi Allah subhanahu wa ta’aala yang menggenggam hidup-mati nyawa Bapak-Ibuku!"

Dan sebagainya.

(2) Khafi (yang tersembunyi):

Yakni Syirik yang berada dalam keinginan dan niat, seperti:

- Riyaa’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang)

- Melakukan amal-ibadah mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’aala tetapi ia ingin mendapatkan pujian atau balasan dari manusia, dll.

Contoh atau misalnya:

- Mengucapkan tahlil(“Laa ilaa ha illallah”), tahmid ”Alhamdulillah”), takbir (“Allahu akbar”, tasbih (“Subhanallah”), berbuat amal baik agamis, dan sebagainya, jika di depan atau di sekitar orang yang ia ingin membuat kesan baik terhadap orang itu (agar dikira sebagai orang baik, 'alim, dsb).

- Membaguskan bacaan AlQuran karena di sekitarnya ada orang yang ia segani-hormati-cintai.

- Sholat dengan khusyu' karena ada orang yang ia hormati-cintai-hormati di sekitarnya.

- Bersedekah karena ingin dianggap dermawan, baik, terhormat, beragama.

- Menolong seseorang bukan karena niat murni karena Allah, melainkan karena berharap imbalan sesuatu hal, pamrih, dari manusia. Misalnya:

• Meminjami uang agar orang yang dipinjami uang itu sungkan, berhutang-budi (selain berhutang uang)kepadanya.
• Meniadakan hutang agar orang itu berhutang budi kepadanya. Dan termasuk mungkin agar satu saat hutang budi ini dijadikan alat untuk memaksa orang itu melakukan sesuatu yang takdisukainya.
• Menolong-berbuat baik kepada seseorang agar orang yang ditolongnya jatuh cinta kepadanya.
• Meniadakan hutang (baik hutang material maupun hutang budi) seorang perempuan (atau lelaki) yang disenanginya agar perempuan (atau lelaki) itu takluk kepadanya, mau diperistrinya, yang sebenarnya adalah suatu bentuk ‘pemerasan terselubung’, dan sebagainya.
• Dan lain-lain.

- Berkhutbah, berdakwah, memberikan pengajian dan sebagainya supaya dianggap hebat-‘alim-terhormat-baik-agamis, dan sebagainya.

Juga karena mengharapkan uang-imbalan-penghargaan dari manusia, bukan karena Allah subhanahu wa ta’aalaatau bukan karena mengharapkan ridho (kerelaan) dari Allah subhanahu wata’aala. Termasuk di antaranya adalah memasang tarif tertentu untuk khutbah, dakwah, pengajian, dan sebagainyaitu.


- Tampil berbaju yang dianggap sebagai ‘standar baju atau busana muslim’ dengan segala kelengkapannya supaya dianggap muslim, ‘alim, salih, sedang mode, dan sebagainya, bukan karena supaya menjalankan syari’at Islam dan mendekat kepada Allah, berhias untuk Allah, karena Tauhid.


- Dll.


Maka amalan yang tercampur dengan riyaa’ ini, tertolak, sesuai dalil dari Al Quran Surat Al Kahfi ayat 110.

Dan ingatlah bahwa:

Rosululloh shollollohu‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah Syirik Kecil.” Mereka (para Sahabat rodhiollohu ‘anhum) bertanya,“Apakah Syirik Kecil itu wahai Rosululloh?” Beliau menjawab, “Yaitu Riyaa’.“ (Dikutip dari Hadits Riwayat (Imam) AhmadV/428-429 dan Al Baihaqi dalam “Syarhus Sunnah” XIV/324 no 4135 dari Sahabat Mahmud bin Labid - rodhiollohu ‘anhu -)

Ancaman bagi yang berbuat Syirik:

1. Allah subhanahu wata’aala tidak akan mengampuninya jika ia mati dalam kesyirikan dan tidak bertaubat terlebih dahulu (dalil dari Al Quran Surat An Nisaa’ ayat 116)

2. Surga diharamkan untuk orang Musyrik (dalil dari Al Quran Surat Al Maaidah ayat 72)

3. Syirik menghapuskan pahala seluruh amal kebaikan (dalil dari Al Quran Surat Al An’aam ayat 88, Al Quran Surat Az Zumar ayat 65)

4. Orang Musyrik itu halal darah dan hartanya (dalil dari Al Quran Surat At Taubah ayat 47-54 terutama ayat 50) dengan catatan pelaksanannya harus melalui otoritas (penguasa-pemerintahan) muslim yang adil dan diakui, bukan sembarangan dilakukan individu muslim. Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat) dari ayat kelimapuluh (50) dari Surat At Taubah itu adalah mengenai mereka yang munafiq, syirik dalam berjuang yang seakan-akan di jalan Allah, seakan-akan karena Allah, namun justru berkhianat terhadap umat, dalam Perang Tabuk.

Al Quran Surat Al An’aam 153:

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.


Tafsirnya oleh Rosululloh Muhammad - shollollohu ‘alaihi wasallam - sendiri:

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Rosululloh - shollollohu ‘alaihi wasallam - telah membuat untuk kami satu garis lurus dengan tangannya.

Kemudian beliau bersabda, “Inilah jalan Allah yang lurus”

Lalu beliau membuat beberapa garis ke sebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda, “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak ke arahnya.”

Kemudian beliau membaca Al An ‘aam (ayat) 153.

(HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, Ibnu Abi ‘Ashim di kitabnya As Sunnah)



Wallohua'lam. Wastaghfirulloh. Walhamdulillah

Abu Taqi Mayestino, Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1434 / 5 April 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alhamdulilah Jaza Kumullohu Khoiro , Atas Komentarnya Semoga Alloh Paring aman, selamat, lancar, berhasil, barokah...!